Minggu, 29 April 2012

Lokal VS Modern


Live - Inku berjalan sangat menyenangkan. Suka, duka, susah, nyaman, kecewa, marah semua emosi itu tercampur dalam 5 hari live in tersebut.

Setelah panjangnya perjalanan dari sekolah hingga akhirnya sampai di Sukorejo, tepatnya Ngaliyan, aku dan teman - teman satu desa menuju Gereja Triniji Suci Ngaliyan untuk pembagian tempat menginap. Tiba saatnya pembagian rumah yang dipimpin pak Pet. Saat nama ku dan pasanganku dipanggil, aku dan Chacha (pasanganku) berharap mendapatkan orang tua asuh yang baik, ramah, dan nggak neko - neko. Dan ternyata doaku terkabul. Terima kasih Tuhan. Aku tinggal di rumah Ibu Lamiyem, seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang baru saja pulang 1 bulan yang lalu setelah 15 tahun merantau ke Negeri Jiran (Malaysia). Ibu tinggal bersama salah seorang anaknya yang bernama Mas Arifin beserta menantunya yang bernama Mbak Anik dan seorang cucu bernama Galang.

Saat tiba di kediaman Bu Lamiyem, tanpa sadar perhatianku langsung tertuju pada cucunya yang bernama Galang. Galang adalah anak kecil berumur 3 tahun yang memiliki sifat malu - malu pada siapa pun saat belum dikenalnya tetapi sifat yang penuh kasih dapat ia tunjukan saat ia telah mengenalnya. Dari awal masuk rumah aku selalu memperhatikan setiap gerak geriknya, hingga tiba - tiba iya bernyanyi dengan semangat “togeng.. togeng… togeng.. togeng..”  sambil melenggak - lenggok menaiki kuda lumping bambu kesayangannya layaknya penari handal. Akupun heran kenapa ia bernyanyi dan menari seperti itu. Mbak Anik, ibunya Galang, yang mengetahui mimik wajahku penuh dengan rasa heran langsung menjelaskan padaku bahwa si Galang sedang menirukan pemain “Jaranan” (kuda lumping) yang biasanya ia lihat di lapangan dekat rumahnya.

Aku tersentak dan terdiam sejenak. Pikiranku dipenuhi dengan beribu pertanyaan maupun penyesalan yang ada pada diriku. Aku bertanya - tanya dalam hati, mengapa permainan kuda lumping yang ia pilih? Bukankan ini sudah memasuki jaman globalisasi? Di sinipun tersimpan banyak mainan modern seperti robot ataupun boneka. Mengapa ia begitu cintanya  dengan permainan itu? Mengapa ia sangat lihai menirukan pemain Jaranan? mengapa.. mengapa.. dan selalu mengapa… . Saat itu juga Mbak Anik memberitahuku, “Maklum nggih Mbak Icha, bocah kampung ya dolanane ngene iki”. “Ooo, nggih mbak, kula seneng ningali Dek Galang, ning kutha mboten wonten dolanan menika.

Aku berfikir keras. Kalahkah aku pada seorang anak kecil yang berumur 3 tahun? Ia lebih mencintai permainan tradisional Indonesia, ia lebih mampu menunjukkan jati diri Indonesia, ia lebih mampu memaparkan kebudayaan Indonesia di kehidupan sehari - hari, ia pun lebih mampu dan tidak malu mendominasikaan dirinya pada permainan tradisional di jaman yang modern ini. Aku benar - benar malu pada diriku sendiri. Selama ini ternyata aku jarang, atau mungkin hampir tidak pernah mengapresiasikan diriku pada permainan tradisional ataupun kebudayaang tradisional. Selama ini aku terlalu takut untuk dikatakan “nggak gaul” atau “ndeso” atau mungkin saat ini orang lebih suka menyebutnya “kamseupay” (kampungan sekali udik payah) , di jaman yang penuh kemajuan teknologi ini. Padahal dengan sikap yang seperti itu justru akan memudarkan kebudayaan asli bangsa Indonesia dan akan menghilangkan jati diri bangsa kita tercinta, Indonesia.


Aku sangat berterima kasih pada Dek Galang yang telah menyadarkanku akan pentingnya mencintai dan mengembangkan kebudayaan sendiri dibanding kebudayaan milik orang lain, sebelum kebudaayan itu diambil alih oleh orang lain.
J AMDG J


Dek Galang :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar