Live - Inku berjalan sangat menyenangkan. Suka, duka,
susah, nyaman, kecewa, marah semua emosi itu tercampur dalam 5 hari live in
tersebut.
Setelah panjangnya perjalanan dari sekolah hingga
akhirnya sampai di Sukorejo, tepatnya Ngaliyan, aku dan teman - teman satu desa
menuju Gereja Triniji Suci Ngaliyan untuk pembagian tempat menginap. Tiba
saatnya pembagian rumah yang dipimpin pak Pet. Saat nama ku dan pasanganku dipanggil,
aku dan Chacha (pasanganku) berharap mendapatkan orang tua asuh yang baik,
ramah, dan nggak neko - neko. Dan
ternyata doaku terkabul. Terima kasih Tuhan. Aku tinggal di rumah Ibu Lamiyem,
seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang baru saja pulang 1 bulan yang lalu
setelah 15 tahun merantau ke Negeri Jiran (Malaysia). Ibu tinggal bersama salah
seorang anaknya yang bernama Mas Arifin beserta menantunya yang bernama Mbak
Anik dan seorang cucu bernama Galang.
Saat tiba di kediaman Bu Lamiyem, tanpa sadar
perhatianku langsung tertuju pada cucunya yang bernama Galang. Galang adalah
anak kecil berumur 3 tahun yang memiliki sifat malu - malu pada siapa pun saat
belum dikenalnya tetapi sifat yang penuh kasih dapat ia tunjukan saat ia telah
mengenalnya. Dari awal masuk rumah aku selalu memperhatikan setiap gerak
geriknya, hingga tiba - tiba iya bernyanyi dengan semangat “togeng.. togeng…
togeng.. togeng..” sambil melenggak -
lenggok menaiki kuda lumping bambu kesayangannya layaknya penari handal. Akupun
heran kenapa ia bernyanyi dan menari seperti itu. Mbak Anik, ibunya Galang,
yang mengetahui mimik wajahku penuh dengan rasa heran langsung menjelaskan
padaku bahwa si Galang sedang menirukan pemain “Jaranan” (kuda lumping) yang
biasanya ia lihat di lapangan dekat rumahnya.
Aku tersentak dan terdiam sejenak. Pikiranku dipenuhi
dengan beribu pertanyaan maupun penyesalan yang ada pada diriku. Aku bertanya -
tanya dalam hati, mengapa permainan kuda lumping yang ia pilih? Bukankan ini
sudah memasuki jaman globalisasi? Di sinipun tersimpan banyak mainan modern
seperti robot ataupun boneka. Mengapa ia begitu cintanya dengan permainan itu? Mengapa ia sangat lihai
menirukan pemain Jaranan? mengapa..
mengapa.. dan selalu mengapa… . Saat itu juga Mbak Anik memberitahuku, “Maklum nggih Mbak Icha, bocah kampung ya dolanane ngene iki”. “Ooo, nggih mbak, kula seneng ningali Dek Galang, ning kutha mboten wonten
dolanan menika.”
Aku berfikir keras. Kalahkah aku pada seorang anak
kecil yang berumur 3 tahun? Ia lebih mencintai permainan tradisional Indonesia,
ia lebih mampu menunjukkan jati diri Indonesia, ia lebih mampu memaparkan
kebudayaan Indonesia di kehidupan sehari - hari, ia pun lebih mampu dan tidak malu
mendominasikaan dirinya pada permainan tradisional di jaman yang modern ini.
Aku benar - benar malu pada diriku sendiri. Selama ini ternyata aku jarang,
atau mungkin hampir tidak pernah mengapresiasikan diriku pada permainan
tradisional ataupun kebudayaang tradisional. Selama ini aku terlalu takut untuk
dikatakan “nggak gaul” atau “ndeso” atau mungkin saat ini orang lebih
suka menyebutnya “kamseupay”
(kampungan sekali udik payah) , di jaman yang penuh kemajuan teknologi ini.
Padahal dengan sikap yang seperti itu justru akan memudarkan kebudayaan asli
bangsa Indonesia dan akan menghilangkan jati diri bangsa kita tercinta,
Indonesia.
Aku sangat berterima kasih pada Dek Galang yang telah menyadarkanku akan pentingnya mencintai dan mengembangkan kebudayaan sendiri dibanding kebudayaan milik orang lain, sebelum kebudaayan itu diambil alih oleh orang lain. J AMDG J
Dek Galang :) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar